Nava Tour Travel Haji Plus Umroh 2014

(paket umroh murah 2014 jakarta,paket umroh murah di bali,paket umroh murah di surabaya,paket umroh murah di solo,paket umroh murah di jogja,paket umroh murah di yogyakarta,paket umroh murah di malang,paket umroh murah di medan,paket umroh murah di semarang,paket umroh murah di balikpapan,paket umroh murah di bekasi,paket umroh murah di bandung,paket umroh murah di depok,paket umroh murah di jambi, paket umroh murah di jember,paket umroh murah samarinda,paket umroh murah di tangerang,paket umroh murah makassar,paket umroh murah di bogor,paket umroh murah di tasikmalaya,paket umroh murah di bandar lampung,paket umroh murah di batam,paket umroh murah palembang,paket umroh murah pekanbaru,paket umroh murah di pontianak,paket umroh murah di padang,paket umroh murah cirebon,paket umroh murah tahun 2014 jakarta,jual paket umroh murah 2014,paket umroh reguler 2014,paket umroh ekonomis 2014,paket umroh eksekutif 2014,paket umroh 9 hari 2014,paket umroh 12 hari 2014,paket umroh plus turki 2014,paket umroh plus turki murah 2014,paket umroh plus istanbul 2014,paket umroh plus istambul 2014,paket umroh dan wisata ke turki 2014,paket umroh ke turki 2014,paket umroh turki 2014,biaya umroh plus turki 2014,paket umroh awal tahun 2014,paket umroh bulan januari 2014,paket umroh murah januari 2014,paket umroh bulan februari 2014,paket umroh murah februari 2014,paket umroh bulan maret 2014,paket umroh murah maret 2014,biaya umroh murah tahun 2014,paket umroh bulan april 2014,paket umroh murah april 2014,paket umroh bulan mei 2014,paket umroh murah mei 2014,paket umroh hemat 2014,harga paket umroh 2014,harga paket umroh murah 2014,harga paket umroh plus turki 2014,paket umroh plus turkey 2014,paket umroh promo 2014,paket umroh 2014 murah,travel umroh jakarta,travel umroh murah,paket umroh jakarta 2014,paket umroh yang murah,paket umroh yg murah, paket umroh super ekonomis 2014),paket umroh yang bagus,paket umroh vip 2014)

Syarat Sah Badal Haji

 Syarat Sah Badal Haji

Orang yang mati dan belum berhaji tidak lepas dari dua keadaan:

Pertama:

Saat hidup mampu berhaji dengan badan dan hartanya, maka orang yang seperti ini wajib bagi ahli warisnya untuk menghajikannya dengan harta si mayit. Orang seperti ini adalah orang yang belum menunaikan kewajiban di mana ia mampu menunaikan haji walaupun ia tidak mewasiatkan untuk menghajikannya. Jika si mayit malah memberi wasiat agar ia dapat dihajikan, kondisi ini lebih diperintahkan lagi. Dalil dari kondisi pertama ini adalah firman Allah Ta’ala,

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ

“Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, [yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]” (QS. Ali Imran: 97)

Juga disebutkan dalam hadits shahih, ada seorang laki-laki yang menceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh ada kewajiban yang mesti hamba tunaikan pada Allah. Aku mendapati ayahku sudah berada dalam usia senja, tidak dapat melakukan haji dan tidak dapat pula melakukan perjalanan. Apakah mesti aku menghajikannya?” “Hajikanlah dan umrohkanlah dia”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad dan An Nasai). Kondisi orang tua dalam hadits ini telah berumur senja dan sulit melakukan safar dan amalan haji lainnya, maka tentu saja orang yang kuat dan mampu namun sudah keburu meninggal dunia lebih pantas untuk dihajikan.

Di hadits lainnya yang shahih, ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji. Namun beliau tidak berhaji sampai beliau meninggal dunia. Apakah aku mesti menghajikannya?” “Berhajilah untuk ibumu”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Ahmad dan Muslim)

Kedua:

Jika si mayit dalam keadaan miskin sehingga tidak mampu berhaji atau dalam keadaan tua renta sehingga semasa hidup juga tidak sempat berhaji. Untuk kasus semacam ini tetap disyari’atkan bagi keluarganya seperti anak laki-laki atau anak perempuannya untuk menghajikan orang tuanya. Alasannya sebagaimana hadits yang disebutkan sebelumnya.

Begitu pula dari hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa itu Syubrumah?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku –atau kerabatku-”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf (hanya sampai pada sahabat Ibnu ‘Abbas). Jika dilihat dari dua riwayat di atas, menunjukkan dibolehkannya menghajikan orang lain baik dalam haji wajib maupun haji sunnah.

Adapun firman Allah Ta’ala,

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39). Ayat ini bukanlah bermakna seseorang tidak mendapatkan manfaat dari amalan atau usaha orang lain. Ulama tafsir dan pakar Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah amalan orang lain bukanlah amalan milik kita. Yang jadi milik kita adalah amalan kita sendiri. Adapun jika amalan orang lain diniatkan untuk lainnya sebagai pengganti, maka itu akan bermanfaat. Sebagaimana bermanfaat do’a dan sedekah dari saudara kita (yang diniatkan untuk kita) tatkala kita telah meninggal dunia. Begitu pula jika haji dan puasa sebagai gantian untuk orang lain, maka itu akan bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati namun masih memiliki utang puasa, maka hendaklah ahli warisnya membayar utang puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah). Hal ini khusus untuk ibadah yang ada dalil yang menunjukkan masih bermanfaatnya amalan dari orang lain seperti do’a dari saudara kita, sedekah, haji dan puasa. Adapun ibadah selain itu, perlu ditinjau ulang karena ada perselisihan ulama di dalamnya seperti kirim pahala shalat dan kirim pahala bacaan qur’an. Untuk amalan ini sebaiknya ditinggalkan karena kita mencukupkan pada dalil dan berhati-hati dalam beribadah. Wallahul muwaffiq.

Para ulama menjelaskan bahwa ada tiga syarat boleh membadalkan haji:

  • Orang yang membadalkan adalah orang yang telah berhaji sebelumnya.
  • Orang yang dibadalkan telah meninggal dunia atau masih hidup namun tidak mampu berhaji karena sakit atau telah berusia senja.
  • Orang yang dibadalkan hajinya mati dalam keadaan Islam. Jika orang yang dibadalkan adalah orang yang tidak pernah menunaikan shalat seumur hidupnya, ia bukanlah muslim sebagaimana lafazh tegas dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, alias dia sudah kafir. Sehingga tidak sah untuk dibadalkan hajinya. badal haji

0 komentar:

Posting Komentar

Search